PURA KAHYANGAN GUNUNG RAUNG

DUSUN WONOASIH DESA BUMIHARJO KEC. GLENMORE
KABUPATEN BANYUWANGI
      

Cikal Bakal Berdirinya Pura Kahyangan Gunung Raung.

 

Cerita berawal dari masyarakat di dusun wonoasih dahulunya mayoritas pemeluk ajaran Kejawen yang di sebut Agama Budha Jawi Wishnu (ajaran yang berlatar hindu budha). Pada tahun 1943 ada lima tokoh masyarakat pada masa itu yang menggagas pembuatan tempat suci atau tempat ibadah bagi mereka yang beragama Budha Jawi Wishnu, beliau adalah Asmat, Kasdi, Ponidi, Saimin, dan Mangun.

Dari kelima tokoh ini lah rencana pembuatan tempat suci atau tempat ibadah umat Budha Jawi Wishnu, maka dengan ini beliau mengumpulkan masyarakat untuk di ajak musyawarah membangun tempat suci umat Budha Jawi Wishnu. Dalam musyawarah bersama rencana pembangunan tempat suci Budha Jawi Wishnu salah satu pembahasan pentingnya adalah dimanakah tempat untuk membangun tempat suci tersebut, maka dengan ini ada seorang yang mau menghibahkan tanahnya untuk di berikan atau di bangun tempat suci sebagai tempat ibadah umat budha jawi wishnu beliau bernama Matrejo.

Selesai dalam pembahasan itu semua masyarakat di dusun wonoasih pemeluk agama budha jawi wishnu mulai membangun tempat suci atau tempat ibadah di tanah hibah dari Matrejo. Dengan rasa semangat semua gotong royong (ngayah) membangun tempat ibadah budah jawi wishnu dengan sederhana berupa bale biasa yang di depan ada sebuah meja panjang untuk tempat menaruh sesaji atau banten, di tengah tengah meja itu ada sebuah tempat seperti jolen yang berukir sederhana, dan tak lupa membuat penyengker dari anyaman bambu (gedhek goling) dengan tinggi 80 Cm.  Selesai pembangunan tempat suci ini maka bangunan yang baru di bangun ini di namakan Sanggar Pamujan Budha Jawi Wishnu. Dengan selesainya pembuatan sanggar pamujan budha jawi wishnu sekaligus mengawali peribadatan agama budha jawi wishnu, maka dengan ini Matrejo yang menghibahkan tanahnya untuk Sanggar Pamujan, atas musyawarah dan persetujuan masyarakat maka dijadikanlah atau di kukuhkan menjadi Panguyu-uyu atau pemimpin adat Budha Jawi Wishnu.

 

Beralih Dari Budha Jawi Wishnu Ke Agama Hindu Dharma

 

Berdasarkan kebijakan Orede-baru yang di pimpin Presiden Soeharto, beliau hanya mengakui secara resmi 5 agama saja : Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Oleh karena itu kalau masih ada kelompok-kelompok masyarakat yang masih berlembaga dengan ciri-ciri tuntunan kerohanian, lalu menamakan kelompoknya itu dengan nama sebutan Agama, maka oleh presiden di anjurkan untuk bergabung dengan agama resmi di bawah binaan Departemen Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan.

Dengan keluarnya kebijakan pemerintah Presiden Soeharto itu, maka Agama Budha Jawi Wishnu di bekukan oleh Kejaksaan Agung dan pemerintah melarang semua kegiatan peribadatan Budha Jawi Wishnu, dengan demikian umat budha jawi wishnu di anjurkan untuk bergabung ke agama resmi di Indonesia. Singkat cerita ada tokoh-tokoh dar hindu bali melakukan pendekatan kepada umat, karena banyak di temukan persamaan filsafat atau teologi Hindu di budha jawi wishnu. 1. Tuhan dalam budha jawi wishnu di sebut Gusti Hulun Hyang Bathara Wishnu di dalam hindu sendiri Wishnu adalah Tri Murti (manifestasi tuhan sebagai pemlihara), 2. Kitab suci budha jawi wishnu adalah Weddho Djojosampurno dan Kitab Sutji Begawadgito, kita semua tahu bahwa Wedha adalah kitab suci agama hindu dan bagawadgita adalah Pancamo Wedha, 3. Bersembahyang menghaturkan sesaji atau banten, di dalam agama hindu ada sebuah kewajiban menghaturkan korban suci yang di sebut yadnya. Maka dengan demikian umat budha jawi wishnu menjadi lebih mantab dalam berkeyakinan dan memeluk Agama Hindu Dharma.

Surat sudi wadhani umat pura kahyangan gunung raung tahun 1968

 

SANGGAR PAMUJAN BERALIH MENJADI PURA

Dengan keadaan demikian masyarakat budha jawi wishnu di dusun wonoasih beralih memeluk agama hindu dharma dengan jumlah sekitar 80KK. Semua kegiatan peribadatan budha jawi wishnu beralih ke peribadatan Hindu , salah satu di antaranya adalah Sanggar Pamujan di alihkan menjadi Pura sebagai tempat . dalam hal ini

penamaan sebuah pura sebagai tempat suci atau tempat ibadah sesepuh umat melakukan tirakatan (yoga brata samadi) memohon anugrah petunjuk kepada Hyang Widhi. Setelah sekian hari berpuasa para sesepuh mendapatkan wahyu untuk menamakan Kahyangan sebagai tempat sucinya, sebagai stana atau bersemayamnya para dewa dan mengandung makna membangun ka-hyang-an di dalam diri sebagai sarana tempat memuja Tuhan atau hyang widhi wasa, maka dinamakan lah menjadi Pura Kahyangan. Di sisi lain letak wilayah Pura Kahyangan berada di daerah dataran paling tinggi pada waktu itu, sebelum ada di bangunya pura-pura lain seperti pura puncak raung dan candi gumuk kancil.

 

JEJAK SEJARAH PETILASAN RSI MERKANDEYA

 

Kepastian bekas kehidupan Rsi Markandeya di lereng selatan gunung raung atau di dusun wonoasih di ketahui pada tahun 1966 setelah gejolak peristiwa G30S/PKI agama hindu mulai berkembang. Masyarakat tidak tahu siapa Rsi Markandeya karena kehilangan jejak ataupun catatan sejarah, hanya mendapat informasi atau kabar dari bali bahwa Rsi Markandeya berasal dari raung.

Dengan adanya catatan sejarah dari bali ini Pura Kahyangan Gunung Raung sangat erat kaitanya dengan Rsi Markandeya, melihat dari peninggalan-peninggalan yang ada dan pernah di temukan di sekitaran wilayah Pura. Pada tahun 1953 masyarakat dusun wonasih ketika membuat kanal saluran irigasi pengairan untuk mengaliri sawah, ladang, dan kebun, di sebelah barat laut Pura Kahyangan Gunung Raung berjarak 250 meter, di temukan seperangkat Gamelan Jawa berbahan perunggu lengkap, hanya kendang dan suling yang tidak ada.

 

Bagan 1gamelan penemuan ketika menggali kanal

Gamelan ini hanya sebagian yang masih tersisa, di simpan dan di rawat oleh salah satu umat yang mewarisinya, untuk gamelan yang lain-lain nya sudah habis di jual, uang dari hasil penjualan gamelan ini di pakai perbaikan Pura karena kondisinya sudah memprihatinkan dan karena kurangnya pengetahuan akan nilai-nilai sejarah.

 



2 Gambar : dulang perunggu yang di temukan di sebelah barat laut pura kahyangan G. Raung di percaya sebagai tempat sarana upacara

Selang dua tahun 1955, 200 meter sebelah barat laut Pura ketika masyarakat menggali tanah untuk di jadikan sawah atau ladang pertanian  banyak masyarakat yang memukan Gerabah dari tanah liat berupa Guci-guci, Gentong, Periuk, lengser, piring dan lain-lain.

Untuk tahun-tahun selanjutnya, masyarakat banyak menemukan benda-benda kuno seperti uang kuno (gobog/pis bolong) yang jumlahnya sangat banyak, keris satu kotak berisi 9 bilah yang di temukan seorang penambang batu di sebelah timur laut Pura berjarak 100 meter di kedalaman 7 meter di bawah tanah, satu rancak bilah gangsa gamelan lagi pernah di temukan, patung-patung seperti patung dewa wishnu, dewa siwa, dewa budha, dewi sri, dewi parwati, dan dewi durga yang berbahan perunggu.

Pada tahun 1976 umat kami yang bekerja membuat bata merah, ketika menggali tanah untuk di jadikan bahan batu bata menemukan sebuah bongkahan batu berlubang atau watu lumpang (batu yoni) yang berjumlah 5 dalam satu tempat, ketika pertama kali di temukan semuanya masih utuh bersama lingganya, tetapi karena tidak tahu benda apa ini dan untuk apa maka di tutup kembali. Hingga pada akhirnya tahun 2009 ada seorang spiritual dari bali tahu dan melihat keberadaanya, maka di boongkar lagi atas petunjuk seorang spiritual dari bali ini untuk di sungsung atau di linggihkan di pura.

3Watu Lumpang/Lingga Yoni

Bahkan di sebelah utara Pura berjarak 100 meter pernah di temukan sebuah batu bertulis aksara jawa kuno (prasasti) ketika menggali tanah penambang batu, beliau yang menemukan dari umat islam, akhirnya batu itu di simpan di langgar (tempat ibadah umat islam) akan tetapi karena kurangnya pemahaman akan nilai-nilai sejarah prasasti itu di jual oleh si penemu, entah di mana menjualnya akan tetapi selang satu bulan si penemu yang menjual batu prasasti itu sakit dan meninggal.

 

 

Bajra, adalah sarana atau peralatan suci seorang brahmana dalam menjalankan sebuah ritual upacara, di Pura Kahyangan Gunung Raung mempunyai benda suci yang di percaya dan di yakini sebagai peralatan upacara Maha Rsi Markandeya berupa Bajra/genta, benda ini sangatlah di sucikan dan sakralkan sebagai Pratima Utama Pura Kahyangan Gunung Raung. Berbahan dari perunggu, dengan gagang berbentuk Chakra dan Trisula kami meyakini ini adalah simbol dari ketiga dewa utama Hindu Tri Murti. Trisula adalah lambang senjata dewa Siwa, Chakra adalah lambang senjata dewa Wishnu, dan Bajra itu sendiri adalah simbol dari dewa Brahma karena tanpa api Bajra itu tidak akan jadi. Bajra ini sangatlah erat kaitanya dengan Maha Rsi Markandeya, Bali, dan Besakih, hal ini bisa kita lihat di Pura Penataran Agung Besakih  pelinggih utamanya di sana adalah Padma Tiga sebagai linggih Brahma, Wishnu, dan Siwa.

4 Pratima Bajra Suci peninggalan Rsi Markandeya di Pura Kahyangan G. Raung


PURA KAHYANGAN GUNUNG RAUNG

Kahyangan, adalah nama terdahulu sebelum di sempurnakan menjadi Pura Kahyangan Gunung Raung. Menurut cerita sejarah di bangun pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1943, dan Pura Kahyangan Gunung Raung adalah satu-satunya tempat suci pertama dan paling tua yang ada di lereng gunung raung pada waktu itu, walaupun dahulunya sanggar pamujan tetapi kita bisa melihat bahwa budha jawi wishnu adalah Hindu di masa itu, kita bisa melihatnya dari cara ritual peribadatanya menggunakan berbagai macam sesaji di hindu kita mengenalnya dengan banten, kitab suci yang menjadi tuntunanya bernama weddo djojosampurno dan begawadgito, itu semua adalah kitab suci agama hindu, hong adalah aksara suci om, dan dewa yang di sebut dalam persembahyanganya adalah gusti hulun hyang bathara wishnu salah satu dari tiga dewa utama Tri Murti di dalam agama hindu. Pada tahun 1966 setelah peristiwa G30 S/PKI keberadaan umat hindu mulai menunjukkan perkembangan sehingga di tahun ini di adakan perbaikan Pura yang pertama karena kondisi penyengker sudah rusak, dengan  diperbaiki dengan menggantinya dari bahan batu bata.

Untuk selanjutnya, tahun 1980 ada donatur dari bali yang ingin ber-punia untuk merenovasi Pura Kahyangan dengan mengganti atau membangun keseluruhan pura dari bahan cetakan, dengan menambahkan pelinggih padma sana, kori agung, tembok penyengker dan candi bentar maka dengan ini pura di bagi menjadi tiga bagian atau tri mandala yaitu nista, madya, dan utama mandala. Di utama mandala di bangun padmasana dari cetakan semen berukir yang di datangkan dari bali dan pelinggih panglurah yang di buat secara sederhana oleh umat di sini, madya mandala hanya di bangun sebuah bale kecil untuk tempat menaruh peralatan-peralatan pura, dan nista mandala adalah bagian paling luar yaitu jalan umum. Menjadikan semangat yang luar biasa untuk umat hindu Pura Kahyangan karena tempat ibadahnya yang dahulu hanya tembok penyengker dan bale saja maka dengan adanya bantuan dari donatur untuk memperbaiki pura yang ke-dua ini semakin menambah giat untuk menjalankan swadharmaning agama.

Komentar